Ini Dampaknya Kalau Tarif PPN Naik! Kata Sri Mulyani

Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat hadir dalam rapat kerja dengan Komisi XI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 15 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Rencana Kementerian Keuangan di bawah Sri Mulyani Indrawati menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melahirkan gelombang protes. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai rencana tersebut bisa membawa efek ganda terhadap pelaku usaha dan konsumen.

Tauhid menilik rencana kenaikan PPN muncul sejak adanya proyeksi penerimaan pajak pada 2022. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan penerimaan pajak pada 2022 bisa menyentuh Rp1.499,3 triliun-Rp1.528,7 triliun.

“Kalau mengandalkan pajak e-commerce dan cukai plastik relatif kecil, makanya coba menaikkan PPN,” kata Tauhid dalam diskusi virtual, Selasa 11 Mei 2021.

Kemenkeu merinci target pertumbuhan PPN dan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPnBM) pada 2022-2024 mencapai 9,2%-12,1%. Target itu masih jauh dibandingkan rata-rata pertumbuhan PPN dan PPnBM yang sebesar 6,9%.

Hasil riset Indef melaporkan penerimaan pajak Indonesia pada 2022 hanya sebesar Rp1.335,3 triliun. Itu artinya, Indef memperkirakan masih ada shortfall atau selisih antara realisasi dan target Rp114 triliun pada 2022.

Kondisi itu, kata Tauhid, yang memaksa pemerintah mencari jalan cepat dalam menggenjot pendapatan. Dengan mengasumsikan daya beli masyarakat kembali pada level sebelum pandemi, pemerintah mengklaim kebijakan ini bisa mencegah stagnasi pendapatan Indonesia.

Namun, Tauhid meninjau upaya menggenjot penerimaan itu tidak melihat kondisi perekonomian masyarakat yang masih tersungkur akibat pandemi COVID-19.

“Stagnasi Pendapatan negara menjadi persoalan serius dan mendorong kenaikan pajak. Sementara kesejahteraan masyarakat dari PDB nya masih US$4.440, jadi buat apa dibebankan kalau kesejahteraan masih relatif rendah,” ucap Tauhid.

Sebaliknya, kebijakan ini justru bisa membuat penerimaan negara menyusut. Bila tarif PPN meroket jadi 15%, Tauhid menyebut masyarakat berpotensi menurunkan volume daya belinya.

“Volume barang yang dikonsumsi berkurang, harga akan semakin mahal, termasuk yang berasal dari impor. Akhirnya penerimaan negara bisa turun,” ucap Tauhid.

Menurunkan Daya Saing

Di sisi lain, besaran PPN yang naik ini juga bisa berefek kepada pelaku usaha. Menurut Tauhid, potensi penurunan daya beli membuat pelaku usaha pada akhirnya kesulitan dalam meningkatkan skala bisnisnya.

Lebih jauh, kenaikan PPN ini bisa menurunkan daya saing perdagangan Indonesia di level internasional, terutama di antara negara ASEAN.

Berdasarkan data ASEAN Briefing, indeks PPN Indonesia sudah berada dalam posisi yang kompetitif. Tarif PPN Indonesia sama dengan Kamboja dan Laos.

\Sementara itu, tarif PPN rendah diterapkan Singapura dan Thailand dengan 7%. Sementara Vietnam yang menerapkan skema multi tarif mematok PPN dengan besaran 5% dan 10%.

“Kalau kita bersaing untuk investasi, ketika ada kenaikkan PPN, mau tidak mau investor akan memikirkan ulang. Karena ini bisa berefek ke jangka panjang,” terang Tauhid.

Sementara itu, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) Rizal Edy Halim mengatakan rencana kenaikan PPN ini bisa menghambat pelaku usaha untuk mengeskalasi produksi. Hal itu, kata Rizal, menjadikan perekonomian sulit untuk pulih.

“Masyarakat tidak mau konsumsi. Produksi mereka turun, perusahaan mengurangi resources, dan sehingga menekan pendapatan rumah tangga turun,” kata Rizal dalam kesempatan yang sama.

Rizal khawatir kenaikan PPN berimplikasi terhadap pengendalian inflasi. Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) melaporkan akan menjaga inflasi di angka 2% pada tahun ini.

Lebih lanjut, Rizal menyebut efek lanjutan dari kenaikkan PPN ini bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022. Pasalnya, komponen pajak merupakan entitas yang bisa berpengaruh dari produksi hingga konsumsi

“Pemerintah seharusnya memberikan perlindungan ekonomi dan sosial. Tapi yang terjadi ada kebijakan sektoral yang tidak mengalami koordinasi karena tidak melihat secara komprehensif dampak yang terjadi,” terang Rizal.

Untuk diketahui, Bank Dunia menaruh proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 4,8% pada 2022. Adapun proyeksi dari Asian Development Bank (ADB) untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 mencapai 5%.

Skema Kenaikan Masih Dikaji

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan ada dua opsi skema baru tarif PPN. Pertama, skema tarif tunggal.

Jika merujuk kepada Undang-Undang (UU) Nomor 46 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8.1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran tarif PPN. Syaratnya pemerintah mesti mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk melegitimasi kebijakan tersebut.

Opsi kedua yang mungkin ditempuh DJP Kemenkeu adalah multitarif PPN. Skema ini membebankan tarif PPN yang berbeda atas setiap barang dan jasa. Bila skema ini diterapkan, pemerintah harus merevisi UU Nomor 46 Tahun 2009. Selain itu, pemerintah juga mesti merumuskan klasifikasi dan besaran tarif berbeda untuk setiap barang dan jasa. (TrenAsia.com)


Related Stories