Minyak Goreng Masih Mahal, BPKN Usul Bentuk Tim Pengawas

Ilustrasi minyak goreng. (Pixabay.com)

Berdasarkan pantauan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), harga minyak goreng di pasar modern sudah sesuai dengan harga operasi pasar yang ditetapkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko). Namun, harga minyak goreng di pasar tradisional masih relatif  tinggi dan pada gilirannya dapat berdampak kepada kondisi perekonomian.

Sebelumnya, Kemenko Bidang Perekonomian memberlakukan kebijakan harga Rp14.000 per liter untuk minyak goreng dan sudah berlaku sejak Rabu, 19 Januari 2022. Kebijakan ini pun dicetuskan untuk berlaku di seluruh Indonesia selama enam bulan ke depan.

Meskipun kebijakan ini dapat menjadi angin segar bagi sebagian besar masyarakat selama beberapa waktu terakhir hingga saat ini, namun kesenjangan harga antara pasar modern menyebabkan pemerosotan stok minyak goreng di pasar modern. Diperkirakan stok hanya akan bertahan sekitar dua hari ke depan.

Dr. Firman T. Endipradja, Komisioner BPKN RI sekaligus Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan, mengatakan bahwa pemerintah harus ikut andil dalam pengawasan dan pembinaan untuk menjamin perlindungan terhadap hak konsumen terkait dengan kesenjangan harga tersebut.

Hal itu pun sudah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan:

Pemerintah bertanggung  jawab  atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan  konsumen  yang menjamin diperolehnya  hak  konsumen dan  pelaku  usaha serta dilaksanakannya kewajiban  konsumen  dan pelaku  usaha.

“Untuk itu, kiranya pemerintah perlu memiliki political will yang tinggi dengan segera membentuk tim gabungan yang menangani tingginya harga minyak goreng di pasaran.

Operasi pasar yang tengah dilakukan masih belum efektif, karena hanya bersifat terapi sementara, artinya tidak menyembuhkan atau menyasar akar masalahnya,” ujar Firman dalam keterangan yang diterima TrenAsia.com, Sabtu, 22 Januari 2022.

Firman pun mengatakan, tim gabungan untuk menghadapi dampak krisis minyak goreng ini bisa mencakup lintas kementerian/lembaga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, LSM, media massa, dan akademisi yang diinstruksi oleh presiden untuk melakukan pengawasan dan mencegah dampak terhadap perekonomian.

“Bahkan, bila perlu, tim ini dibentuk mulai dari pusat sampai ke daerah, dan kalau mungkin sampai ke kecamatan, kelurahan, bahkan ke RT/RW,” sambung Firman.

Firman mengusulkan agar tim ini dibentuk dan diumumkan secepatnya supaya masyarakat dapat merasakan bahwa pemerintah dapat cepat tanggap dan hadir dalam kondisi yang terjadi.

Selain untuk menangani krisis minyak goreng, tim gabungan ini juga bisa mencakup pengawasan terhadap kebutuhan pokok masyarakat lainnya, seperti dampak kenaikan dan kelangkaan komoditas-komoditas seperti gas 3 kg, listrik (pasokan batu bara), BBM, iuran BPJS, kenaikan tarif tol, harga obat Covid, dsb.

“Intinya, tim gabungan ini bertugas untuk mengetahui ekses/dampak kebijakan pemerintah (top down policy) di bidang perlindungan konsumen di lapangan (di tingkat implementasi), terutama di masa pandemi, khususnya dalam membasmi mafia yang melibatkan oknum pejabat negara, yang mempermainkan harga dan ketersediaan minyak goreng dan komoditas lainnya.

Hal ini juga sebagai penyempurnaan dan konsistensi dari kebijakan penanganan pandemi eksesnya terhadap kebutuhan masyarakat (perlindungan konsumen),” pungkas Firman. (TrenAsia.com)

Editor: Sutan Kampai

Related Stories