Nasional
Padel Jadi Tren Baru di Indonesia, Kenapa Bisa Bangkrut di Swedia?
JAKARTA – Demam olahraga padel kini melanda Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesia. Menurut data dari The International Padel Federation (FIP), Indonesia menempati peringkat keenam sebagai negara dengan pertumbuhan padel tercepat di Asia Tenggara dan berada di posisi ke-29 secara global.
Popularitas padel tidak hanya terlihat dari semakin banyaknya pemain, tetapi juga dari pertumbuhan fasilitas yang menjamur. Para pengusaha pun menangkap tren ini dengan membuka lapangan padel hingga ke berbagai daerah.
Sebelum Indonesia, warga Swedia lebih dulu demam padel. Swedia bahkan dianggap sebagai pusat ledakan popularitas padel di dunia. Antara 2016 dan 2020, jumlah lapangan padel meningkat pesat di seluruh negeri. Olahraga ini pun berubah dari kegiatan yang bersifat khusus menjadi “obsesi nasional”.
- Awas! 7 Risiko yang Mengintai Tubuh Anda Jika Konsumsi Mi Instan Setiap Hari
- Waspada! Ini 5 Penipuan di Internet yang Lagi Marak
- 8 Tanda Tubuh Butuh Istirahat Segera, Jangan Diabaikan!
Padel mulai populer di Swedia pada pertengahan 2010-an. Saat itu, olahraga ini belum terkenal secara luas, lebih karena rasa ingin tahu. Di kota-kota seperti Helsingborg dan Båstad di selatan Swedia, beberapa klub perintis mulai menyiapkan fondasi untuk olahraga yang tak lama kemudian akan memikat seluruh negeri.
Memasuki akhir 2010-an, Stockholm ikut mengikuti tren ini, dan komunitas padel berkembang pesat. Tokoh-tokoh Swedia ternama mulai berinvestasi. PDL Frihamnen yang kini ikonik, dimiliki bersama oleh mantan pemain tenis Jonas Björkman dan penyanyi pop Måns Zelmerlöw, menjadi simbol daya tarik olahraga ini di kalangan masyarakat luas.
Ketika Zlatan Ibrahimović membuka Padel Zenter di Årsta, jelas terlihat bahwa padel telah menjadi sorotan nasional.
Lalu tahun 2020, dan dunia berubah. Pandemi COVID-19 menutup pusat kebugaran, membatalkan olahraga tim, dan mengubah cara orang menghabiskan waktu mereka. Namun, pembatasan di Swedia yang relatif longgar justru memungkinkan padel berkembang pesat.
Dengan kontak fisik yang dibatasi dan kerja jarak jauh membuat orang tetap di rumah, padel menjadi pilihan olahraga yang ideal, minim kontak, mudah diakses, dan tetap bersifat sosial.
Pada puncak pandemi, orang tidak hanya bermain padel, mereka juga membangunnya. Menurut artikel di Padel Magazine tahun 2024, jumlah lapangan padel di Swedia meningkat lebih dari 1.000% selama masa booming tersebut.
Semua orang ingin ikut menikmati kesuksesan padel, dari pengusaha berpengalaman hingga orang yang mencari peluang cepat untuk mendapatkan keuntungan.
Mulai Tutup
Namun beberapa tahun terakhir lapangan padel di negara tersebut justru tutup satu per satu. Menurut SVT, lebih dari 100 fasilitas padel ditutup antara 2022 dan 2024. Kini, banyak yang bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan padel di Swedia? Apakah ini sekadar tren sesaat, atau ada cerita lain di baliknya?
Ketika pembatasan dicabut dan rutinitas kembali normal, masalah ternyata mulai muncul. Tiba-tiba, jumlah lapangan jauh melebihi jumlah pemain. Bukan berarti orang Swedia berhenti menyukai olahraga ini, melainkan industri padel berkembang terlalu cepat sehingga tidak berkelanjutan.
Dampaknya terasa di seluruh ekosistem. Banyak pihak yang membangun bisnis seputar padel, terutama dalam penjualan perlengkapan, merasa tertekan. Seorang sumber dari Courtbrain mengenang, saat masa booming semuanya laris terjual, namun kesuksesan itu hanya bertahan singkat.
Produsen memproduksi berlebihan untuk memenuhi permintaan, yang berujung pada surplus barang dan harga yang jatuh drastis. Dilansir dari The Strait Times, di negara Nordik ini, sejumlah pusat padel diubah menjadi gudang dan toko grosir murah setelah ledakan popularitas olahraga ini selama pandemi berakhir dengan kekecewaan.
Hampir 90 perusahaan yang bergerak di bidang padel mengajukan kebangkrutan pada 2023, menurut data dari lembaga pemeringkat kredit Creditsafe. Ribuan lapangan padel juga ditutup setelah para pengelola menghadapi tiga masalah sekaligus yaitu meningkatnya persaingan, inflasi yang melonjak, dan menurunnya minat dari kelas menengah yang sebelumnya tampak tak pernah puas dengan olahraga ini.
Jumlah lapangan padel di Swedia meningkat pesat antara 2018 dan 2021, namun segera terlihat bahwa ekspansi tersebut berlebihan. Ehrnvall, mantan pemain tenis profesional yang ikut memperkenalkan olahraga ini di Swedia, sudah melihat tanda-tanda masalah sejak awal.
Setelah menjalankan sebuah klub padel di kota Uppsala sejak 2012, ia merasa ngeri melihat perkembangan ini, karena terlalu banyak orang yang mencoba meraih keuntungan cepat ikut masuk.
“Dalam satu tahun, Uppsala meningkat dari 14 lapangan menjadi 100 lapangan,” katanya mengenai masa booming itu. “Menurut saya, di kota seukuran Uppsala dengan sekitar 200.000 penduduk, seharusnya hanya ada ruang untuk maksimal 20 lapangan.”
Para pengelola menutup fasilitas mereka dengan cepat. We Are Padel, salah satu bagian utama dari investasi Triton dalam olahraga ini, telah menutup sekitar 50 klub di Swedia, menyisakan hanya 13 klub.
Pemiliknya mencatat kerugian sebesar 716 juta kronor Swedia (S$87,2 juta) pada 2022. Perusahaan lain, PDL United, yang didukung oleh Coeli Private Equity, bahkan bangkrut.
Di Vasteras, sekitar 100 km barat Stockholm, sebuah pusat padel bekas sedang diubah menjadi toko grosir di bawah merek murah Axfood AB, Willys. Hall lain diubah menjadi gudang untuk panel surya dan ban.
Masih Populer
Jadi, apakah padel gagal di Swedia? Sama sekali tidak. Olahraga ini masih sangat populer, hanya saja kini tidak lagi seperti demam emas. Yang terjadi sekarang adalah stabilisasi, bukan penurunan. Seperti yang diungkapkan Timbro, padel sedang beralih dari sekadar tren menjadi tradisi.
Selain itu, terlihat pergeseran signifikan menuju budaya klub dan komunitas. Federasi Olahraga Swedia (Riksidrottsförbundet) mulai memasukkan padel ke dalam lingkungan yang lebih terstruktur, mendorong partisipasi anak muda dan kompetisi yang lebih terorganisir.
Sementara pasar padel di Swedia mulai menyeimbangkan diri dan memasuki tahap kematangan, olahraga ini justru sedang booming di seluruh dunia. Di Eropa, serta beberapa wilayah di Asia dan Amerika, klub-klub padel baru terus dibuka setiap bulan.
Pelajaran dari kebangkitan cepat dan penyesuaian pasar di Swedia memberikan wawasan berharga bagi negara-negara yang baru memasuki era padel mereka sendiri. Menurut laporan Padel Magazine, negara-negara seperti Italia, Prancis, dan Inggris saat ini berada di fase yang sama dengan Swedia beberapa tahun lalu.
Namun, perjalanan Swedia menjadi peringatan penting tentang bahaya ekspansi berlebihan dan pentingnya membangun infrastruktur olahraga yang berkelanjutan.
Padel di Swedia kini bukan lagi sekadar tren, olahraga ini telah menjadi bagian tetap. Meskipun siklus boom-and-bust sempat merugikan sebagian pihak, hal itu juga membantu menyaring dan menyempurnakan pasar.
Saat ini, padel berada dalam kondisi lebih sehat, lebih matang, dan semakin terintegrasi ke dalam lanskap olahraga Swedia. Bagi mereka yang khawatir bahwa kematian padel di Swedia menandai akhir, perlu diingat, kematangan bukanlah penutup melainkan awal yang baru.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 24 Sep 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 30 Sep 2025