Sabtu, 16 Juli 2022 16:04 WIB
Penulis:Sutan Kampai
Editor:Redaksi
Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin kembali diperiksa Bareskrim Polri Jumat, 15 Juli 2022. Total, Ahyudin telah diperiksa sebanyak enam hari berturut-turut.
Pengacara Ahyudin, Teuku Pupun Zulkifli mengatakan, pada pemeriksaan keenam ini, Ahyudin dihujani 30 pertanyaan. Di antaranya membahas terkait keuangan dan perusahaan cangkang.
Perusahaan cangkang yang biasanya digunakan sebagai tameng yang dibentuk secara sengaja untuk menjalankan operasi bisnis yang biasanya digunakan sebagai penyembunyi harta.
“Ada (pembahasan perusahaan cangkang ACT),” kata Pupun kepada wartawan pada Jumat 15 Juli 2022.
Menurut pantauan TrenAsia, Ahyudin memenuhi panggilan Barekrim sekitar pukul 14.00 WIB dan keluar dari ruang pemeriksaan sekitar pukul 01.23 WIB.
Saat dimintai keterangan oleh wartawan, Ahyudin tidak memberikan banyak keterangan. Ia hanya mengatakan dalam pengelolahan dana ACT ada arahan kebijakan dari dewan syariah ACT bahwa hak kelolah yayasan tersebut mencapai 20-30%.
Kemudian, ia juga menegaskan pada saat ia memimpin Lembaga tersebut, dana operasional yang dipakai hanya mencapai 10-12%.
“Tetapi sepanjang saya memimpin ACT baik sebagai pengurus sejak tahun 2005 hingga 2019 dan sebagai ketua pimpinan pada yayasan ACT 2019 sampai Januari 2022 kisarannya itu mencapai 10-20%,” kata Ahyudin kepada wartawan Jumat malam.
Di sisi lain, Kasubdit IV Dirttipideksus Bareskrim Polri Kombes Andri Sudarmaji mengatakan, pemeriksaan keenam pada Jumat kemarin salah satu agendanya adalah pembacaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk dikoreksi.
“Ahyudin masih koreksi BAP,” kata Andri saat dikonfirmasi pada Jumat malam.
Namun sejauh ini, pihak penyidik dari Bareskrim Polri belum menyinggung kapan penetapan tersanga akan dilakukan dan siapa tersangka yang akan bertanggung jawab dalam kasus penyelewengan dana umat ini.
Tambahan informasi, Lembaga kemanusiaan ini diketahui menerima dana donasi sekitar Rp60 miliar per bulan dari berbagai pihak yakini dari masyarakat umum, donasi kemitraan, perusahaan nasional, dan internasional, sinasi dari komunitas serta donasi dari anggota lembaga.
Pada proses pengolahannya, donasi-donasi tersebut dapat terkumpul sekitar Rp600 miliar per bulan dan dipangkas atau dipotong oleh pihak ACT sebesar 10-20% atau sekitar Rp6-12 miliar untuk pembayaran gaji pengurus dan seluruh karyawan. Kemudian pembina dan pengawas juga mendapatkan dana operasional yang bersumber dari potongan donasi tersebut.
Dalam kasus ini, penyidik menduga Petinggi ACT tersebut telah melakukan pelanggaran Pasal 372 junto 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) juncto Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. (TrenAsia.com)