Strategi BI dalam Menjaga Stabilitas Nilai Rupiah

Ilustrasi mata uang rupiah (Freepik)

Gubernur Bank Indonesia (BI) mengungkapkan strategi dalam menjaga stabilitas nilai rupiah tanpa harus menaikkan suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR).

Sebelum mengungkapkan strategi tersebut, Perry menekankan bahwa nilai tukar rupiah untuk ke depannya diprediksi akan stabil dan cenderung menguat karena kinerja ekspor yang masih cukup baik.

"Bahkan, tahun ini kami perkirakan secara keseluruhan, transaksi berjalan itu diperkirakan akan mengalami surplus mencatat antara 0,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga kalaupun defisit, itu sangat rendah, sekitar 0,5% dari PDB," tutur Perry dalam konferensi pers Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis, 21 Juli 2022.

Perry menyampaikan, untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tanpa menaikkan suku bunga, BI melakukan intervensi melalui operasi moneter dengan menaikkan suku bunga pasar uang untuk tenor-tenor di atas satu minggu dan memperkecil likuiditas untuk tenor jangka pendek.

"Kami juga melakukan penjualan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder sebagai bagian untuk pengelolaan operasi moneter, dan juga untuk mendorong yield (imbal hasil) di pasar untuk bergerak naik," kata Perry.

Sebagai informasi, beberapa ekonom meyakini bahwa BI akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang  terus mengalami penekanan seiring dengan indeks dolar Amerika Serikat (AS) yang mengalami penguatan karena kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed).

Meski demikian, pada akhirnya BI tetap mempertahankan BI7DRR di level 3,5% karena tingkat inflasi inti yang masih terjaga di level 2,63%. Menurut Perry, tingkat inflasi inti itu masih dalam batas wajar sehingga BI tidak merasa perlu menaikkan suku bunganya di pertemuan Juli 2022.

"Inflasi inti 2,63% menunjukkan, meskipun permintaan di dalam negeri meningkat, tapi masih terpenuhi dengan kapasitas produksi nasional. Di sinilah kenapa tekanan-tekanan inflasi dari fundamental yang tercerminkan pada inflasi inti masih terkelola," ungkap Perry.

Perry menambahkan, BI sendiri memprediksi untuk tahun 2022, inflasi inti masih bisa terjaga dalam batas sasaran 2-4%. Perry pun memberikan indikasi bahwa BI baru akan mengambil langkah moneter yang lebih ketat saat inflasi inti sudah melebihi 4%.

Bertahannya suku bunga di level 3,5% pun didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang dinilai BI terus membaik. Selain faktor ekspor, pertumbuhan itu ditopang oleh tingkat konsumsi dalam negeri dan investasi.

Walau begitu, ke depannya kinerja ekspor diprediksi akan dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global. Kenaikan harga-harga pun akan berpengaruh pada tingkat konsumsi swasta.

"Oleh karena itu, kami masih melilhat pertumbuhan ekonomi kisarannya di tahun ini 4,5%-5,3%," ungkap Perry. (TrenAsia.com)

Editor: Redaksi
Bagikan

Related Stories